Sabtu, 18 Mei 2013

Secangkir Kopi Arabika untuk Kebangkitan Indonesia


 

Setiap tanggal 20 Mei bangsa ini selalu memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Sebagian sudah pesimis bangsa ini mampu bangkit kembali,sebagian lagi masih tetap optimis. Saya sendiri masih berusaha mengikis perasaan pesimis itu untuk bangkit.

Bangkit itu berdiri kembali dari keadaan tidur atau duduk. Artinya, setelah meneguk secangkir kopi arabika dari berbagai daerah di Indonesia, mata akan melek, pikiran terang dan semangat timbul lagi untuk kembali bekerja dan menuntaskan pekerjaan yang belum selesai.

Kesadaran kekayaan alam fisik di tanah air pasti akan habis di daerah-daerah mesti kita dukung bersama-sama. Pariwisata mulai dilirik sebagai alternatif perekonomian. Tidak apa-apalah tertinggal 1-2 dasawarsa dari negara tetangga. Jika mau maju ya tidak perlu malu dan minder, bukankah menuntut ilmu sampai menuju liang kubur? Kita belajar secara bersama-sama bagaimana mengelola kekayaan alam dan budaya yang sudah ada sejak dulu menjadi sumber pariwisata yang tidak akan pernah kering.

Selama ini kita "tidur", sekarang baru bangun, masih kucek-kucek mata dan belum menyadari apa yang sedang terjadi di sekitar. Jika terburu-buru bangkit kepala akan pusing malah membuat kita tidak tahu apa yang mesti akan dilakukan. Nikmati dulu kopi arabika dalam cangkir itu, biarkan dia membawa kita ke kesadaran perlahan-lahan untuk bangkit.   

Ssst, tak pernahkah terlintas dalam pikiran kawan-kawan, itupula yang dilakukan oleh tetangga-tetangga kita, bangkit setelah meneguk secangkir kopi arabika dari Indonesia?

Selasa, 09 April 2013

Melalui Perjalanan Saya Ada



Hermes, Dewa Perjalanan dalam mitologi Yunani, mengatakan di dalam sebuah perjalanan ada kebijaksanaan yang memungkinkan mengubah yang asing menjadi familiar sehingga membuat pikiran menjadi gesit, membunuh prasangka, dan terkadang menumbuhkan humor. 

Dalam dunia pariwisata dikenal istilah business traveler dan tourist atau wisatawan. Business traveler dilakukan dalam rangka perjalanan bisnis atau pekerjaan dan membuka kemungkinan di tengah atau akhir perjalanan tersebut juga ada sesi wisata. Sedangkan wisatawan memang sengaja pergi mengunjungi destinasi wisata karena keingintahuan untuk menikmati keindahan alam, nilai sejarah sebuh tempat, keunikan budaya dan sebagainya. 

Kebanyakan wisatawan mengetahui, atau mencari informasi, destinasi yang dituju. sebelum pergi sehingga dia berharap bisa menemukan yang dibayangkan di dalam kepalanya saat tiba di tujuan. Tapi adakalanya itu tidak terpenuhi dan membuat kita bete. Kenapa? Sebagian besar wisatawan nusantara/lokal menganggap bepergian itu mahal, memakan waktu, dan itu menawarkan banyak peluan yang sama yang bisa dilakukan dari rumah, masih belum dilihat sebagai sebuah investasi. Karena kita tetap saja menggunakan kendaraan umum, pergi ke tempat-tempat kuliner, berfoto, menikmati pemandangan, pergi keluar mencari hiburan, dan sebagainya.

Pernahkah terpikir dunia ini terlalu luas bagi diri kita sendiri? Kadang-kadang kita perlu melarikan diri ke dalam kesunyian yang terbuka, tanpa tujuan, melakukan beberapa hal spontan, untuk memaknai kehidupan yang kita jalani sehari-hari, merasakan kesulitan secukupnya, dan akan memaksa bekerja mati-matian untuk sesaat tanpa peduli apapun agar bisa bepergian.

Perjalanan memungkinkan 'meminjamkan' arti gambar bagi mata dan pikiran. Gambar-gambar ini menjadi tanda bagi sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang harus direbut dan dinikmati. Kita akan mempertajam perhatian dan membawanya membayangkan aspek-aspek lain yang kita mungkin mampu meraihnya. 

Setiap orang melakukan perjalanan untuk alasan yang berbeda, hasilnya pun akan berbeda pula. Seseorang dapat mengembangkan filosofi perjalanannya, yaitu mengetahui apa yang menjadi bahan bakar pendorong mereka bepergian dan bekerja untuk menciptakan saat-saat kebahagiaan pada saat bepergian. Dengan bepergian, kita tidak menyadari keinginan menangkap kembali keajaiban petualangan di masa kecil yang semakin sulit dilakukan seiring bertambahnya usia dan kesibukan yang telah menjadi rutinitas sehari-hari. There lies a child in every adult.

 Jawaban yang paling sering dilontarkan adalah mencari perubahan suasana. Umumnya, orang bepergian menginginkan perubahan: mengubah sesuatu yang rutin jadi tidak rutin atau bahkan belum pernaha dilakukan sama sekali. Mereka ingin perubahan pemandangan, perubahan pakaian dari sweater dan bot menjadi papan selancar, celana pendek dan sandal jepit, perubahan budaya, dan perubahan dalam jadwal kehidupan. Perjalanan selalu menjadi bagian dari momen-momen perubahan.


Selama tidak melakukan tindakan yang menyakiti orang lain dalam perjalanan, maka semuanya tersera kepada kita mencari tahu yang bisa dinikmati dan dihargai dari sebuah perjalanan wisata. Menjadi seorang wisatawan tidak selamanya perlu berkantong tebal dan harus menginap di hotel berbintang, adakalanya tinggal di guest house atau home stay di rumah penduduk bisa memberikan perubahan. Menyantap masakan tradisional di angkringan akan terasa lebih nikmat dengan suasana guyub yang secara tidak sadar kita rindukan. Di lain waktu, bersantap di restoran mungkin akan menemukan inovasi baru dari koleksi kuliner di daerah. Memang hal-hal seperti itu mungkin saja dilakukan dari rumah, tapi saat melakukannya di daerah lain dengan adat istiadat dan kebiasaan yang berbeda, memungkinkan kita melihat sesuatu dari perspektif berbeda pula. 

Jadi, apapun pilihan bentuk tur Anda, dengan mengikuti paket wisata dari biro perjalanan atau melakukan perjalanan sendiri sendirian atay bersama tean-teman, semuanya akan memberikan sesuatu yang berbeda. Apakah perjalanan tersebut berjalan menyenangkan ataupun mengerikan, semuanya sama-sama memberikan pengalaman tak terlupakan. Percayalah!


Dari berbagai sumber. By YD
 

Sabtu, 06 April 2013

Ik weet Bogor (Bogor yang Kukenal)

Saya lahir di daerah Cempaka Putih, Jakarta. Sekitar 31 tahun lalu orang tua memutuskan hijrah ke kota hujan. Awalnya, karena jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor. Suasana yang tenang, udara yang sejuk membuat kami selalu ingin kembali datang.

Lebih dari tiga puluh tahun berlalu, kota ini berubah kian menjadi metropolis. Sama seperti kota-kota lain penunjang kota-kota besar di Indonesia, perkembangannya semakin kehilangan jati diri/identitas. 

Pohon-pohon besar yang sudah tua ditebang bukan hanya karena usianya, tapi juga karena faktor pembangunan yang mengatasnamakan ekonomi. Saat pertama kali tinggal di Bogor, mulai sore hingga pagi hari mengenakan baju hangat, tidur harus pakai selimut tebal, siang hari udara tetap terasa sejuk, karena hujan turun tak kenal musim. Sekarang, hujan hanya turun di musimnya, itupun semakin singkat periodenya. Suhu di kota ini sudah meningkat entah berapa derajat. Baju hangat dan selimut tebal hanya dilipat dan tersimpan rapi di dalam lemari.

Dulu, talas dan bengkoang Bogor besar-besar, tak perlu pergi ke pasar karena masih banyak petani yang langsung menawarkannya ke kawasan perumahan. Lahan kebun masyarakat semakin tergusur untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal, yang masih bersifat landed house, 'imigran' dari Ibukota yang mulai menyerbu kota ini dan mulai merasakan ketidaknyamanan tinggal di sana. Jadilah talas Bogor mulai sulit dicari, kalau ada, ukurannya tak sebesar dulu, harganya sudah harga 'suvenir'. Begitupun dengan bengkoang. Untuk mengingatkan orang-orang pada talas Bogor, banyak yang diolah menjadi penganan seperti bolu gulung, bolu lapis, atau bakpia talas. Tapi apakah benar-benar menggunakan talas Bogor atau talas dari Borneo, itu yang masih belum jelas.

Buah lainnya yang terkenal adalah durian Rancamaya, dimana sekarang daerah itu sudah 'disulap' menjadi perumahan super mewah dan lapangan golf. Daging buahnya kuning mentega dengan biji hanya sebesar biji kurma. Waktu berbuahnya mengikuti musimnya di akhir tahun antara November-Januari. Ada rasa kangen menunggu saat musimnya sehingga sensasi rasanya jauh lebih enak daripada durian Bangkok yang bisa ditemui setiap hari. Sudah lama tidak mendengar buah ini di pasaran, apakah dia sekarang hanya menjadi cerita saja?

Sampai dengan sekitar awal tahun 1990-an kondisi jalan-jalan di Bogor tidak mengenal macet. Saya bersyukur masih mengenal bemo di tahun 1980-an. Alat transportasi ini juga menjadi ciri khas sebelum digantikan angkot hijau yang sudah menggantikan kehijauan pepohonan di dalam kota. Terutama di akhir pekan, jalan-jalan di dalam kota yang berpusar di Kebun Raya Bogor, semakin tidak keruan dengan pertambahan kendaraan pribadi dan angkot. Jalan-jalan alternatif dalam kota juga telah mulai padat. 

Jalan Pajajaran sebagai salah satu jalan utama sudah nyaris kehilangan wibawa. Di bagian timurnya, rumah-rumah besar dan mewah berganti fungsi menjadi tempat usaha komersial factory outlet, restoran, ruko dan beberapa hotel kecil. Ada tren bangunan-bangunan dua lantai itu mulai digantikan dengan gedung-gedung tinggi yang mengokupasi hak pengguna jalan menikmati keanggunan Gunung Salak di pagi dan sore hari. Di tengah-tengahnya, perumahan bergaya art deco pun digantikan dengan bangunan-bangunan baru lebih dari dua lantai juga untuk kepentingan komersial. Hanya sebagian kecil yang melewati Kebun Raya kita masih bisa melihat pohon-pohon besar ciri kota ini.

Jalan Juanda, jalan utama lainnya yang mengitari hampir setengah Kebun Raya dan Istana Bogor, masih sedikit menyisakan ciri khas kota. Selain Istana Bogor, gedung yang dipakai kantor karasidenan/kejaksaan, kantor walikota, gereja Zebouth, Hotel Salak, dan kantor pos besar Bogor masih mempertahankan penampilan facade luarnya. Sayangnya, salah satu peninggalan gedung zaman Belanda yang ditempati sekolah negeri terbaik di kota ini, malah menghilangkannya. Apakah pertambahan jumlah murid, peningkatan mutu sekolah dengan harus menyediakan kelengkapan standar internasional dan entah alasan lainnya yang membenarkan penggantian itu? Sebagai salah satu alumni, saya merasa malu sekolah yang pernah menjadi kebanggaan pun tak mampu menghargai dan mempertahankan-yang menurut data dalam situs dinas pariwisata kota- bangunan cagar budaya.

Masih di sekitar Jalan Juanda, ada sebuah percetakan tua yang sudah tidak lagi beroperasi sekarang sudah menjadi restoran waralaba global. Saya prihatin bukan karena ada restoran di pojok jalan itu, tapi-lagi-lagi- bangunan lamanya diratakan dengan tanah.  Saya yakin, bangunan itu punya cerita, sepenggal kisah tentang kota Bogor yang mesti diketahui oleh orang Bogor sendiri. Tidak jauh, sebuah rumah yang pernah ditinggali salah seorang maestro lukis Indonesia, Raden Saleh, masih berdiri dan ditempati sebuah instansi pemerintah. Dari luar, secara umum, garis bentuk bangunannya masih dipertahankan. Tapi, jika itu juga menjadi bangunan cagar budaya, siapapun yang menempatinya untuk keperluan apapun, paling tidak mempertahankan rupa aslinya seperti sedia kala. Bukan dilapisi dengan keramik agar lebih efisien karena tidak perlu mengecat ulang.

Di Jalan Suryakencana, kawasan pecinan di Bogor, masih tetap menjadi tempat wisata kuliner favorit. Beberapa makanan khas Bogor masih bisa ditemui di sini. Meskipun tak bisa lagi melihat toko-toko dengan arsitektur Cina, paling tidak, kawasan ini diatur agar tak terlihat didiamkan begitu saja dari dulu hingga sekarang.

Apakah kota yang relatif tidak terlalu besar ini memerlukan mal di setiap pojokannya? Apakah warga asli Bogor mendapat tempat dan berjualan di dalamnya sebagai kompensasi dari kehilangan lahan kebun talas dan bengkoangnya? Seberapa banyak wisatawan atau peserta konvensi yang membutuhkan akomodasi di kota ini, karena jaraknya relatif dekat dengan Ibukota? Siapakah para pengemis dan pengamen yang semakin banyak di persimpangan lampu merah itu? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.

Semua itu karena saya semakin merasa asing dengan kota Bogor, daerah yang telah menjadi my hometown. En dat is ik weet Bogor.

by YD 

 
 



 

Sabtu, 23 Maret 2013

(Un)Forgotten Story

(Un)forgotten Story of Old Batavia




Sejarah itu sebenarnya tidak lebih dari sebuah kisah. Ada yang dalam kata-kata, foto, data statistik, bangunan atau benda fisik, sebagian lagi tak berwujud, yakni ingatan. Sebuah negara dibentuk dari individu-individu yang bernama rakyat. Setiap individu mempunyai kisahnya sendiri, mencatat sejarahnya masing-masing. Kumpulan dari kisah tersebut menjadi sebuah sejarah suatu bangsa.
 
Apa yang akan kita lakukan terhadap kisah yang telah kita lalui dan diterakan dalam kehidupan memang hak masing-masing. Kita bisa melupakan kisah yang memberikan pengalaman terkelam yang pernah dialami atau dirasakan. Atau, mau belajar dari yang kita alami dari kisah itu agar hari ini tidak melakukan hal yang telah menggiring kita pada pengalaman buruk tersebut, dan esok kita sudah tahu apa yang mesti dilakukan agar hal tersebut tak terulang kembali.

Semua peninggalan berwujud maupun tak berwujud bagaikan lukisan dan foto yang pada suatu saat bisa kita lihat kembali. Bukan kemunduran bukan pula kesia-siaan belaka jika kita memelihara peninggalan tersebut. Memang ada ongkos yang tak sedikit untuk memeliharanya, tapi nilai yang dibawanya jauh melebihi ongkos yang dibayarkan. Itu sama saja menghargai diri sendiri.

Dalam skala nasional, sudah ada peraturan mengenai perlindungan terhadap benda-benda peninggalan kisah kehidupan bangsa dan negara ini. Sudah banyak opini mengatakan hukum di sini tajam ke bawah tumpul ke atas, dan banyak pula uraian mengenai alasan bangsa ini 'amnesia' pada sejarahnya. Sering dikatakan, jika masih banyak perut yang kelaparan mana mungkin mau memikirkan pemeliharaan benda-benda peninggalan tersebut. Tapi, di berbagai media massa diberitakan kelas menengah dalam masyarakat di negara ini terus meningkat. Asumsi saya, seseorang bisa mencapai level itu paling tidak dia mengenyam pendidikan dan 'urusan perut'nya sudah terpenuhi. Artinya, dia bisa memikirkan hal-hal lain seperti bagaimana caranya memelihara benda-benda peninggalan tersebut agar selalu bisa jadi pengingat dari generasi ke generasi. Namun, adakah diantara mereka yang bertanya kepada dirinya, sudahkah saya menghargai diri sendiri dengan tak akan melupakan apa yang telah dilalui dan dialami?

Candi, bangunan dari zaman kolonial, koleksi benda-benda di museum dan galeri, catatan-catatan kuno dan lain sebagainya merupakan dokumentasi dari perjalanan diri ini. Jika tidak ada itu mungkin tidak bisa menikmati apa yang kita miliki saat ini. Siapa yang paling tahu kisahnya adalah diri kita sendiri. Oleh karena itu, kita juga-mestinya-yang paling tahu apa yang harus dilakukan terhadapnya. 

Jika orang lain hendak mengulurkan tangan, tentu itu sekedar saran dan kritik. Masterplannya, mestilah kita sendiri yang membuatnya. Apakah orang lain yang menentukan kisah yang harus Anda lalui dan rasakan dalam menjalani kehidupan? Memang manusia adalah anak wayang Sang Pencipta. Di dunia, manusia diberikan kesempatan menjadi aktor pelaku dan obyek kisah kehidupannya, dimana manusia lain hanyalah jadi aktor pendukung dalam kisah yang dilakoninya.

 


Sabtu, 09 Maret 2013

Wonderful Indonesia:The Wolrd's Heart Wonder. Is it?

Indonesia is wonderful. Partisipasi Indonesia dalam sebuah trade show pariwisata terbesar di dunia pada awal Maret 2013 di Berlin, Jerman mencoba untuk memperkuat ingatan di dalam kepala semua orang, Indonesia adalah jantung dari semua "wonder" di dunia. Mulai dari alam, manusia dan kebudayaannya. Tidak salah.

Dari zaman para penjelajah dari Eropa mencari rempah-rempah hingga zaman internet, negeri ini selalu menarik perhatian dan memunculkan keinginan untuk 'menguasai'. Para penjelajah dari Eropa dulu ingin menguasai kekayaan rempah-rempah nusantara; dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta sekarang, siapa yang tidak akan tergiur untuk 'menetrasi' pasar konsumen negeri ini. Dan kenyataannya memang sebagian besar masyarakatnya masih berada di level konsumtif, belum menjadi konsumen pintar.

Demi kesejahteraan, kekayaan hayati dan non-hayati negeri ini dieksploitasi besar-besaran kemudian dijual dalam bentuk bahan mentah, meskipun kini sudah mulai dijual dalam bentuk bahan setengah jadi maupun produk jadi. Sekarang pun masih dieksploitasi. Sayangnya, kekayaan yang memang mesti digunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, kesannya belum dimanfaatkan secara berkesinambungan. Kekayaan itu adalah tabungan bangsa ini jadi harus tetap dijaga keberadaannya.

Salah satu kekayaan kita adalah hutan, si emas hijau. Dulu mungkin kita belum berpikir manfaat ekonomi hutan bukan hanya kayunya. Setelah banyak pohon endemik negeri ini dengan kualitas kayu premium nyaris punah baru dilarang illegal lodging. Kemudian, konversi lahan hutan menjadi perkebunan masif. Ini bukan 'barang haram' namun ketika semakin banyak lahan tutupan hutan berubah fungsi, risiko yang ditanggung akan sama besarnya dengan pembabatan hutan dan pertambangan di kawasan hutan. Program reboisasi dan adopsi pohon untuk ditanam kembali sudah mulai gencar dilakukan. Bisakah kita bersabar memetik hasilnya dan mungkinkah kita ikhlas jika tidak pernah merasakannya? Sudah berapa dekade berita di media massa memberitakan mengenai kekeringan di musim kemarau dan banjir saat musim hujan? Sudah berapa teori dan saran dari para pelopor hingga ilmuwan mengenai dampak negatif dari eksploitasi alam besar-besaran yang telah dipublikasikan?

Demi apapun, perubahan fungsi hutan juga akan mengubah ekosistem di sekitarnya, termasuk flora dan fauna di dalamnya. Contoh paling sering kita dengar dan baca adalah pertikaian gajah, harimau, orangutan dengan manusia. Kalau diteliti secara intensif, jangan-jangan daftar fauna dan flora endemik negeri ini yang termasuk nyaris punah atau sudah punah menjadi semakin panjang. Kita masih belum menyadari perubahan ekosistem di darat juga akan berpengaruh pada ekosistem di laut. Seperti sampah, organik dan non-organik, yang dibawa dari hulu sungai bukan hanya mencemari sungainya tapi juga perairan lautnya. Limbah yang terbawa hingga ke laut bukan hanya akan mematikan fauna tapi juga terumbu karang. Sungai yang mendangkal lumpurnya pun akan mendangkalkan perairan laut. Jadi, bukan tidak mungkin suatu hari komodo kebanggaan kita juga akan punah jika lingkungan di sekitarnya terus-menerus dieksploitasi.

Alam-budaya-manusia merupakan satu paket dalam Wonderful Indonesia. Ketika negara lain bersusah payah membangun hutan, kita hanya tinggal menjaganya. Saat kita menyaksikan keseragaman budaya, kita hanya tidak boleh melupakan kebudayaan yang telah mendarah daging. Ketertinggalan kualitas sumber daya manusia bisa diperbaiki dengan kemauan dan fokus belajar dan berlatih mencapai hasil yang lebih baik.   

Salah satu penyumbang devisa dan pendapatan terbesar di negara ini dari sektor pariwisata. Kondisi umumnya, masyarakat pariwisata merasa imbal baliknya masih kurang, apakah dalam bentuk finansial, infrastruktur, dan kebijakan. Secara finansial, okelah, setiap sen pendapatan negara ini harus bisa menghidupi dan menyejahterkan 200 juta lebih rakyatnya. Secara infrastruktur, sebenarnya tidak ada perbedaan infrastruktur umum dan pariwisata. Akses jalan raya yang bagus dan tertib, ketersediaan terminal bis, stasiun kereta, pelabuhan laut dan bandar udara yang menyediakan alat transportasi yang layak dan aman, hanyalah beberapa contoh dari infrastruktur yang bisa dimanfaatkan untuk umum maupun pariwisata. 

Kelemahan yang harus kita akui adalah perencanaan kebijakan dan implementasinya. Mungkin rencananya sudah bagus dan jauh ke depan, peraturannya pun sudah ada, tapi kita masih malas mewujudkannya dengan berbagai alasan. Alangkah baiknya jika setiap perencanaan kebijakan mengedepankan alam dan lingkungan dimana manusia tinggal di dalamnya, dimana manusialah yang harus mematuhi hukum alam dan mau  berbagi dengan makhluk hidup lainnya. Dan alangkah bijaksananya jika pemerintah dengan komitmen yang kuat mendorong dan mendukung gerakan-gerakan mandiri masyarakat di pedesaan, sama besar porsinya dengan dukungan pada kelompok masyarakat yang secara ekonomi dan sosial lebih mapan dan relatif lebih banyak berada di perkotaan.

Seeing-experiencing-believing

Saya percaya unsur subyektif lebih banyak mempengaruhi seseorang menilai sebuah destinasi yang cocok dengannya, apakah untuk berlibur atau business leisure/MICE. Ibaratnya, saya mungkin menilai salah seseorang karena belum kenal betul, dan bisa jadi, atau bisa juga tidak, 'klik' saat sudah mengenalnya. Begitupun dengan Indonesia sebagai destinasi yang katanya 'wonderful'.

Kemajuan teknologi informasi bisa mendekonstruksi suatu daerah. Kecepatan penyebaran informasi bisa membuka daerah terisolasi menjadi perhatian seluruh dunia dalam sekejap. Pengguna internet di Indonesia mencapai 61,08 juta di akhir tahun 2012 dan 58 juta orang mengaksesnya dari perangkat seluler dan perangkat keras berjalan lainnya, menurut survey yang dilakukan Markplus jelang akhir tahun lalu. Lihatlah ke dalam portal media massa besar nasional sekarang, hampir semuanya memiliki versi online, dan kolom khusus pariwisata. Community journalism sepertinya akan semakin tren ke depan, dimana setiap orang yang melakukan perjalanan bisa menulis apapun dan menceritakannya melalui foto-foto yang di upload-nya. Travel writer, meskipun masih cukup asing, tapi mulai menjadi sebuah profesi seksi di negeri ini. Artinya, modal promosi mengenai how wonderful Indonesia is, sudah bisa dikatakan cukup murah dengan hasil yang masih bisa ditingkatkan. Tapi, promosi tidak cukup hanya sampai di situ.

Tulisan mengenai obyek wisata di seluruh Indonesia sudah mulai membanjir, namun yang mengkritisi sebuah obyek atau destinasi, apakah melalui komentar di media sosial atau berupa artikel, relatif masih jarang ditemui. Jikapun ada komentar kebanyakan masih seputar membagikan informasi dengan tombol "like" dan "bagikan" di Facebook atau me-retweet di Twitter, menanyakan posisi obyek, bagaimana menuju ke obyek tsb dsb. Jikapun ada kritisi, kebanyakan masih ditemui di dalam rubrik komentar dalam situs-situs online asing. Kritisi itu perlu dan penting. Melihat apakah sebuah destinasi atau obyek wisata sudah baik dan menarik memerlukan mata orang lain. Ketika saya menyukai sebuah baju dan menurut saya bagus dan cocok, tapi apakah itu bagus dan cocok dipakai saya tentulah orang lain yang melihatnya. Begitupun dengan sebuah destinasi dan obyek wisata.

Wisman cenderung lebih blak-blakan menyampaikan apa yang mereka lihat dan alami saat berlibur di suatu destinasi, termasuk Indonesia. Namun, ini masih belum cukup membudaya di wisnus. Bisa jadi ketika wisnus melihat sampah berserakan dimana-mana di obyek wisata di suatu destinasi, itu jadi hal yang biasa. Meskipun mereka mungkin ada juga yang merasa risih. Tapi ketika wisman melihatnya, bisa jadi pikirannya mencetus, "What in the world Indonesia call itself wonderful?" Rata-rata wisman yang pernah ngobrol dengan saya mengakui alam Indonesia sangat indah dan luar biasa tapi belum dikelola dengan baik. Pengelola itu bukan hanya yang berada di obyek wisata, tapi seluruh stake holder pariwisata termasuk pemda dan masyarakat di destinasi obyek wisata itu berada.

Dengan keberadaan lebih dari 17 ribu pulau, Indonesia harus bisa mencapai target 9 juta wisman. Merasakan tekanan ekonomi yang mulai meningkat di awal tahun 2013, saya sendiri belum yakin apakah masih bisa mencapai, paling tidak, 245 juta perjalanan domestik baik itu untuk liburan maupun business leisure di tahun 2013. Apakah informasi mengenai perjalanan dan destinasi di seluruh nusantara yang marak di berbagai media offline dan online saat ini akan efektif dan berbuah manis di tahun 2013, saya pikir masih harus menunggu paling tidak hingga akhir Agustus 2013. 

Untuk mencapai target itu, dimana promosi dari mulut ke mulut-apapun medianya-masih yang paling efektif hingga saat ini, wisatawan, mancanegara maupun domestik, memerlukan lebih dari sekedar melihat untuk percaya. Secara global, wisatawan ingin lebih banyak berinteraksi dan melebur dalam kehidupan sehari-hari warga lokal di destinasi. Agen/biro perjalanan semakin giat membuat paket-paket yang melibatkan wisatawan berinteraksi dengan warga lokal, bukan hanya melihat. Proses seorang wisatawan percaya suatu destinasi menarik seperti yang ditawarkan padanya bukan hanya pada saat dia melihat foto dalam materi promosi dan ketika dia datang, yang paling krusial justru ketika dia mengalaminya.

Pengalaman itu dimulai ketika dia melihat lingkungan di sekitar pintu gerbang di bandara, pelabuhan, stasiun kereta atau terminal bis dan pelayanan yang diberikan termasuk sikap yang ditunjukan para petugasnya, ketersediaan transportasinya dll. Melihat yang terjadi di lingkungan destinasi yang dia kunjungi, jika ada yang menarik selain obyek wisata yang dia tuju, akan membuka kemungkinan dia ingin mengeskplorasi lebih jauh. Ini bisa dipengaruhi dari pelayanan pramuwisata, agen/biro perjalanan yang menanganinya, karyawan di tempat dia menginap bahkan bisa jadi dari pelayanan yang diberikan oleh becak, ojek, mini market dsb. Di obyek wisata, wisatawan betul-betul membuktikan keindahannya sama seperti saat dia melihat materi foto  promosinya. Pelayanan dan fasilitas umum yang disediakan di sana betul-betul memberi kenyamanan bagi wisatawan. Kita mesti mengingat kembali pepatah, "dari mata turun ke hati."

Bukan disebabkan saya orang Indonesia maka saya masih percaya Indonesia is the world's heart wonder. Masih banyak destinasi dan obyek wisata yang belum dieksplor dan diekspos. Memang masih butuh waktu untuk menyadari pariwisata akan menjadi primadona ekonomi di negeri lebih dari seribu pulau. Wisnus dan pemerintah masih berproses dari hanya memandang pariwisata sebagai kegiatan bersenang-senang dan menghabiskan pendapatan menjadi sebuah kegiatan yang sangat terintegrasi dan membutuhkan koordinasi solid yang meliputi semua kegiatan ekonomi sosial masyarakat, memelihara budaya untuk menjaga identitas bangsa, dan kelestarian alam dan lingkungan. Materi kekayaan fisik pasti habis, materi kekayaan non-fisik tak terbatas dan inilah yang harus dimanfaatkan dan dipersiapkan dari sekarang oleh negeri ini. Kita masih memerlukan berjuta-juta tahun untuk mengembalikan deposit tambang, dan selama proses menunggu itu pariwisata bisa menjadi andalan. Lagipula, bukankah hidup adalah sebuah perjalanan?