Kamis, 24 Januari 2013

Ketika Ciliwung Bicara


Aku sudah tidak tahu lagi aku ini apa dan untuk siapa. Terkadang aku merasa seperti TKI dan TKW yang dibutuhkan jasanya dan sumber devisanya tapi nyaris tak pernah mendapat perlakuan manusiawi. Di saat lain, aku merasa seperti pekerja seks komersial, setelah dieksploitasi habis-habisan lalu dibuang dan tak pernah dianggap.

Aku selalu diharapkan untuk senantiasa siap sedia mengalirkan air dari sumber mata air di pegunungan dengan kualitas layak konsumsi untuk kebutuhan makhluk hidup:sebagai sumber air bagi hewan di hutan, untuk mengairi sawah dan ladang, minum ternak dan mengembangbiakan ikan-ikan dalam keramba, sumber air minum, mencuci dan mandi bagi manusia.
 
Adakah mereka peduli dengan keberadaanku? Aku tak bisa selalu siap mengantarkan air jika sumber airku selalu berkurang karena pohon-pohon dikurangi keberadaannya di pegunungan demi sesuap nasi, atau menambah simpanan materi kekayaan? Aku pun tak akan sanggup untuk memberikan air layak konsumsi jika teman-teman hanya menjadikanku tempat membuang semua kotoran, sampah dan limbah. Aliranku pun diokupansi untuk tempat tinggal,- kebanyakan bagi kaum marjinal yang mengadu nasib ke kota karena di tempat asalnya pun termarjinalkan, seperti diriku juga-dan semakin menyempit. Tempat tinggal yang dibangunpun membelakangiku seolah aku ini sesuatu yang tidak penting. Bebatuan yang kukandung tak luput dari eksploitasi berlebihan.

Ketika keberadaan teman-temanku, pepohonan di pegunungan dan di bantaran sungai, dihilangkan, sang tanah temanku yang lain tak sanggup untuk menahan air yang dicurahkan dari awan, dia mengirimnya langsung padaku. Bebatuan yang telah diambil dariku semakin mengurangi daya untuk menahan laju air yang tak suka mengurangi kecepatannya dari tempat tinggi ke tempat rendah. Apalagi air tak pernah mau disalahkan karena terlalu banyak turun ke bumi.

Aku tak pernah berniat tak membawa air saat musim kemarau atau menumpahkan air yang kubawa saat musim penghujan, dimanapun dan kapanpun. Karena aku tahu itu akan menyusahkan teman-temanku, hewan dan manusia. Aku bisa mengerti jika hewan tak berdaya, tapi manusia itu kan diberikan kelebihan akal oleh Sang Pencipta. Mereka punya ilmu, teknologi, kemauan dan empati. Berlebihankah jika aku hanya meminta agar teman manusia tak menghilangkan keberadaan teman-teman pohonku di hutan di pegunungan dan pinggir sungai, dan tidak menjadikanku sebagai jamban dan tempat sampah mereka? Jika itu bisa dilakukan oleh teman-teman manusia, itu akan membantu tugasku membawa dan mengalirkan air kepada semua makhluk hidup. 

Aku tak pernah merasa kesal setiap kali disalahkan karena tak bisa membawa air di musim kemarau, atau marah sehingga menumpahkannya saat musim hujan. Aku tak tahu bagaimana perasaan teman-teman manusia di daerah yang kulalui di bagian hulu dan tengah, khususnya di setiap musim penghujan, selalu dicitrakan sebagai pengirim banjir ke ibukota negara. kulihat, mereka juga punya andil sama besar dengan teman-teman manusia di hilir. Tapi bukan kapasitasku menghakimi karena merekalah pemilik adidaya terhadap kekuasaan dan kekuatan alam.

Aku tak pernah menyesal menjadi sungai, kan kuterima apapun yang mereka lakukan terhadapku. Sebisa mungkin aku akan terus mengalirkan air dari sumber-sumber mata air di pegunungan yang akan menghidupi kehidupan di sepanjang daerah yang kulalui, kan selalu kukabarkan berita kehidupan di sepanjang daerah yang kulalui dari generasi ke generasi, dan tak akan pernah alpa mengawal air hingga bertemu laut. 

Aku, Sungai Ciliwung, minta maaf jika tak bisa menjalankan tugas dan fungsiku dengan sempurna. Aku tidak akan mengeluh seperti ini lagi. Aku akan bekerja lebih keras menjalankannya agar tidak menyusahkan teman-teman lagi: tetumbuhan, hewan dan manusia.(by YD)