Dari zaman para penjelajah dari Eropa mencari rempah-rempah hingga zaman internet, negeri ini selalu menarik perhatian dan memunculkan keinginan untuk 'menguasai'. Para penjelajah dari Eropa dulu ingin menguasai kekayaan rempah-rempah nusantara; dengan jumlah penduduk lebih dari 200 juta sekarang, siapa yang tidak akan tergiur untuk 'menetrasi' pasar konsumen negeri ini. Dan kenyataannya memang sebagian besar masyarakatnya masih berada di level konsumtif, belum menjadi konsumen pintar.
Demi kesejahteraan, kekayaan hayati dan non-hayati negeri ini dieksploitasi besar-besaran kemudian dijual dalam bentuk bahan mentah, meskipun kini sudah mulai dijual dalam bentuk bahan setengah jadi maupun produk jadi. Sekarang pun masih dieksploitasi. Sayangnya, kekayaan yang memang mesti digunakan untuk kemakmuran rakyat sebesar-besarnya, kesannya belum dimanfaatkan secara berkesinambungan. Kekayaan itu adalah tabungan bangsa ini jadi harus tetap dijaga keberadaannya.
Salah satu kekayaan kita adalah hutan, si emas hijau. Dulu mungkin kita belum berpikir manfaat ekonomi hutan bukan hanya kayunya. Setelah banyak pohon endemik negeri ini dengan kualitas kayu premium nyaris punah baru dilarang illegal lodging. Kemudian, konversi lahan hutan menjadi perkebunan masif. Ini bukan 'barang haram' namun ketika semakin banyak lahan tutupan hutan berubah fungsi, risiko yang ditanggung akan sama besarnya dengan pembabatan hutan dan pertambangan di kawasan hutan. Program reboisasi dan adopsi pohon untuk ditanam kembali sudah mulai gencar dilakukan. Bisakah kita bersabar memetik hasilnya dan mungkinkah kita ikhlas jika tidak pernah merasakannya? Sudah berapa dekade berita di media massa memberitakan mengenai kekeringan di musim kemarau dan banjir saat musim hujan? Sudah berapa teori dan saran dari para pelopor hingga ilmuwan mengenai dampak negatif dari eksploitasi alam besar-besaran yang telah dipublikasikan?
Demi apapun, perubahan fungsi hutan juga akan mengubah ekosistem di sekitarnya, termasuk flora dan fauna di dalamnya. Contoh paling sering kita dengar dan baca adalah pertikaian gajah, harimau, orangutan dengan manusia. Kalau diteliti secara intensif, jangan-jangan daftar fauna dan flora endemik negeri ini yang termasuk nyaris punah atau sudah punah menjadi semakin panjang. Kita masih belum menyadari perubahan ekosistem di darat juga akan berpengaruh pada ekosistem di laut. Seperti sampah, organik dan non-organik, yang dibawa dari hulu sungai bukan hanya mencemari sungainya tapi juga perairan lautnya. Limbah yang terbawa hingga ke laut bukan hanya akan mematikan fauna tapi juga terumbu karang. Sungai yang mendangkal lumpurnya pun akan mendangkalkan perairan laut. Jadi, bukan tidak mungkin suatu hari komodo kebanggaan kita juga akan punah jika lingkungan di sekitarnya terus-menerus dieksploitasi.
Alam-budaya-manusia merupakan satu paket dalam Wonderful Indonesia. Ketika negara lain bersusah payah membangun hutan, kita hanya tinggal menjaganya. Saat kita menyaksikan keseragaman budaya, kita hanya tidak boleh melupakan kebudayaan yang telah mendarah daging. Ketertinggalan kualitas sumber daya manusia bisa diperbaiki dengan kemauan dan fokus belajar dan berlatih mencapai hasil yang lebih baik.
Salah satu penyumbang devisa dan pendapatan terbesar di negara ini dari sektor pariwisata. Kondisi umumnya, masyarakat pariwisata merasa imbal baliknya masih kurang, apakah dalam bentuk finansial, infrastruktur, dan kebijakan. Secara finansial, okelah, setiap sen pendapatan negara ini harus bisa menghidupi dan menyejahterkan 200 juta lebih rakyatnya. Secara infrastruktur, sebenarnya tidak ada perbedaan infrastruktur umum dan pariwisata. Akses jalan raya yang bagus dan tertib, ketersediaan terminal bis, stasiun kereta, pelabuhan laut dan bandar udara yang menyediakan alat transportasi yang layak dan aman, hanyalah beberapa contoh dari infrastruktur yang bisa dimanfaatkan untuk umum maupun pariwisata.
Kelemahan yang harus kita akui adalah perencanaan kebijakan dan implementasinya. Mungkin rencananya sudah bagus dan jauh ke depan, peraturannya pun sudah ada, tapi kita masih malas mewujudkannya dengan berbagai alasan. Alangkah baiknya jika setiap perencanaan kebijakan mengedepankan alam dan lingkungan dimana manusia tinggal di dalamnya, dimana manusialah yang harus mematuhi hukum alam dan mau berbagi dengan makhluk hidup lainnya. Dan alangkah bijaksananya jika pemerintah dengan komitmen yang kuat mendorong dan mendukung gerakan-gerakan mandiri masyarakat di pedesaan, sama besar porsinya dengan dukungan pada kelompok masyarakat yang secara ekonomi dan sosial lebih mapan dan relatif lebih banyak berada di perkotaan.
Seeing-experiencing-believing
Saya percaya unsur subyektif lebih banyak mempengaruhi seseorang menilai sebuah destinasi yang cocok dengannya, apakah untuk berlibur atau business leisure/MICE. Ibaratnya, saya mungkin menilai salah seseorang karena belum kenal betul, dan bisa jadi, atau bisa juga tidak, 'klik' saat sudah mengenalnya. Begitupun dengan Indonesia sebagai destinasi yang katanya 'wonderful'.
Kemajuan teknologi informasi bisa mendekonstruksi suatu daerah. Kecepatan penyebaran informasi bisa membuka daerah terisolasi menjadi perhatian seluruh dunia dalam sekejap. Pengguna internet di Indonesia mencapai 61,08 juta di akhir tahun 2012 dan 58 juta orang mengaksesnya dari perangkat seluler dan perangkat keras berjalan lainnya, menurut survey yang dilakukan Markplus jelang akhir tahun lalu. Lihatlah ke dalam portal media massa besar nasional sekarang, hampir semuanya memiliki versi online, dan kolom khusus pariwisata. Community journalism sepertinya akan semakin tren ke depan, dimana setiap orang yang melakukan perjalanan bisa menulis apapun dan menceritakannya melalui foto-foto yang di upload-nya. Travel writer, meskipun masih cukup asing, tapi mulai menjadi sebuah profesi seksi di negeri ini. Artinya, modal promosi mengenai how wonderful Indonesia is, sudah bisa dikatakan cukup murah dengan hasil yang masih bisa ditingkatkan. Tapi, promosi tidak cukup hanya sampai di situ.
Tulisan mengenai obyek wisata di seluruh Indonesia sudah mulai membanjir, namun yang mengkritisi sebuah obyek atau destinasi, apakah melalui komentar di media sosial atau berupa artikel, relatif masih jarang ditemui. Jikapun ada komentar kebanyakan masih seputar membagikan informasi dengan tombol "like" dan "bagikan" di Facebook atau me-retweet di Twitter, menanyakan posisi obyek, bagaimana menuju ke obyek tsb dsb. Jikapun ada kritisi, kebanyakan masih ditemui di dalam rubrik komentar dalam situs-situs online asing. Kritisi itu perlu dan penting. Melihat apakah sebuah destinasi atau obyek wisata sudah baik dan menarik memerlukan mata orang lain. Ketika saya menyukai sebuah baju dan menurut saya bagus dan cocok, tapi apakah itu bagus dan cocok dipakai saya tentulah orang lain yang melihatnya. Begitupun dengan sebuah destinasi dan obyek wisata.
Wisman cenderung lebih blak-blakan menyampaikan apa yang mereka lihat dan alami saat berlibur di suatu destinasi, termasuk Indonesia. Namun, ini masih belum cukup membudaya di wisnus. Bisa jadi ketika wisnus melihat sampah berserakan dimana-mana di obyek wisata di suatu destinasi, itu jadi hal yang biasa. Meskipun mereka mungkin ada juga yang merasa risih. Tapi ketika wisman melihatnya, bisa jadi pikirannya mencetus, "What in the world Indonesia call itself wonderful?" Rata-rata wisman yang pernah ngobrol dengan saya mengakui alam Indonesia sangat indah dan luar biasa tapi belum dikelola dengan baik. Pengelola itu bukan hanya yang berada di obyek wisata, tapi seluruh stake holder pariwisata termasuk pemda dan masyarakat di destinasi obyek wisata itu berada.
Dengan keberadaan lebih dari 17 ribu pulau, Indonesia harus bisa mencapai target 9 juta wisman. Merasakan tekanan ekonomi yang mulai meningkat di awal tahun 2013, saya sendiri belum yakin apakah masih bisa mencapai, paling tidak, 245 juta perjalanan domestik baik itu untuk liburan maupun business leisure di tahun 2013. Apakah informasi mengenai perjalanan dan destinasi di seluruh nusantara yang marak di berbagai media offline dan online saat ini akan efektif dan berbuah manis di tahun 2013, saya pikir masih harus menunggu paling tidak hingga akhir Agustus 2013.
Untuk mencapai target itu, dimana promosi dari mulut ke mulut-apapun medianya-masih yang paling efektif hingga saat ini, wisatawan, mancanegara maupun domestik, memerlukan lebih dari sekedar melihat untuk percaya. Secara global, wisatawan ingin lebih banyak berinteraksi dan melebur dalam kehidupan sehari-hari warga lokal di destinasi. Agen/biro perjalanan semakin giat membuat paket-paket yang melibatkan wisatawan berinteraksi dengan warga lokal, bukan hanya melihat. Proses seorang wisatawan percaya suatu destinasi menarik seperti yang ditawarkan padanya bukan hanya pada saat dia melihat foto dalam materi promosi dan ketika dia datang, yang paling krusial justru ketika dia mengalaminya.
Pengalaman itu dimulai ketika dia melihat lingkungan di sekitar pintu gerbang di bandara, pelabuhan, stasiun kereta atau terminal bis dan pelayanan yang diberikan termasuk sikap yang ditunjukan para petugasnya, ketersediaan transportasinya dll. Melihat yang terjadi di lingkungan destinasi yang dia kunjungi, jika ada yang menarik selain obyek wisata yang dia tuju, akan membuka kemungkinan dia ingin mengeskplorasi lebih jauh. Ini bisa dipengaruhi dari pelayanan pramuwisata, agen/biro perjalanan yang menanganinya, karyawan di tempat dia menginap bahkan bisa jadi dari pelayanan yang diberikan oleh becak, ojek, mini market dsb. Di obyek wisata, wisatawan betul-betul membuktikan keindahannya sama seperti saat dia melihat materi foto promosinya. Pelayanan dan fasilitas umum yang disediakan di sana betul-betul memberi kenyamanan bagi wisatawan. Kita mesti mengingat kembali pepatah, "dari mata turun ke hati."
Bukan disebabkan saya orang Indonesia maka saya masih percaya Indonesia is the world's heart wonder. Masih banyak destinasi dan obyek wisata yang belum dieksplor dan diekspos. Memang masih butuh waktu untuk menyadari pariwisata akan menjadi primadona ekonomi di negeri lebih dari seribu pulau. Wisnus dan pemerintah masih berproses dari hanya memandang pariwisata sebagai kegiatan bersenang-senang dan menghabiskan pendapatan menjadi sebuah kegiatan yang sangat terintegrasi dan membutuhkan koordinasi solid yang meliputi semua kegiatan ekonomi sosial masyarakat, memelihara budaya untuk menjaga identitas bangsa, dan kelestarian alam dan lingkungan. Materi kekayaan fisik pasti habis, materi kekayaan non-fisik tak terbatas dan inilah yang harus dimanfaatkan dan dipersiapkan dari sekarang oleh negeri ini. Kita masih memerlukan berjuta-juta tahun untuk mengembalikan deposit tambang, dan selama proses menunggu itu pariwisata bisa menjadi andalan. Lagipula, bukankah hidup adalah sebuah perjalanan?