Sabtu, 06 April 2013

Ik weet Bogor (Bogor yang Kukenal)

Saya lahir di daerah Cempaka Putih, Jakarta. Sekitar 31 tahun lalu orang tua memutuskan hijrah ke kota hujan. Awalnya, karena jalan-jalan ke Kebun Raya Bogor. Suasana yang tenang, udara yang sejuk membuat kami selalu ingin kembali datang.

Lebih dari tiga puluh tahun berlalu, kota ini berubah kian menjadi metropolis. Sama seperti kota-kota lain penunjang kota-kota besar di Indonesia, perkembangannya semakin kehilangan jati diri/identitas. 

Pohon-pohon besar yang sudah tua ditebang bukan hanya karena usianya, tapi juga karena faktor pembangunan yang mengatasnamakan ekonomi. Saat pertama kali tinggal di Bogor, mulai sore hingga pagi hari mengenakan baju hangat, tidur harus pakai selimut tebal, siang hari udara tetap terasa sejuk, karena hujan turun tak kenal musim. Sekarang, hujan hanya turun di musimnya, itupun semakin singkat periodenya. Suhu di kota ini sudah meningkat entah berapa derajat. Baju hangat dan selimut tebal hanya dilipat dan tersimpan rapi di dalam lemari.

Dulu, talas dan bengkoang Bogor besar-besar, tak perlu pergi ke pasar karena masih banyak petani yang langsung menawarkannya ke kawasan perumahan. Lahan kebun masyarakat semakin tergusur untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal, yang masih bersifat landed house, 'imigran' dari Ibukota yang mulai menyerbu kota ini dan mulai merasakan ketidaknyamanan tinggal di sana. Jadilah talas Bogor mulai sulit dicari, kalau ada, ukurannya tak sebesar dulu, harganya sudah harga 'suvenir'. Begitupun dengan bengkoang. Untuk mengingatkan orang-orang pada talas Bogor, banyak yang diolah menjadi penganan seperti bolu gulung, bolu lapis, atau bakpia talas. Tapi apakah benar-benar menggunakan talas Bogor atau talas dari Borneo, itu yang masih belum jelas.

Buah lainnya yang terkenal adalah durian Rancamaya, dimana sekarang daerah itu sudah 'disulap' menjadi perumahan super mewah dan lapangan golf. Daging buahnya kuning mentega dengan biji hanya sebesar biji kurma. Waktu berbuahnya mengikuti musimnya di akhir tahun antara November-Januari. Ada rasa kangen menunggu saat musimnya sehingga sensasi rasanya jauh lebih enak daripada durian Bangkok yang bisa ditemui setiap hari. Sudah lama tidak mendengar buah ini di pasaran, apakah dia sekarang hanya menjadi cerita saja?

Sampai dengan sekitar awal tahun 1990-an kondisi jalan-jalan di Bogor tidak mengenal macet. Saya bersyukur masih mengenal bemo di tahun 1980-an. Alat transportasi ini juga menjadi ciri khas sebelum digantikan angkot hijau yang sudah menggantikan kehijauan pepohonan di dalam kota. Terutama di akhir pekan, jalan-jalan di dalam kota yang berpusar di Kebun Raya Bogor, semakin tidak keruan dengan pertambahan kendaraan pribadi dan angkot. Jalan-jalan alternatif dalam kota juga telah mulai padat. 

Jalan Pajajaran sebagai salah satu jalan utama sudah nyaris kehilangan wibawa. Di bagian timurnya, rumah-rumah besar dan mewah berganti fungsi menjadi tempat usaha komersial factory outlet, restoran, ruko dan beberapa hotel kecil. Ada tren bangunan-bangunan dua lantai itu mulai digantikan dengan gedung-gedung tinggi yang mengokupasi hak pengguna jalan menikmati keanggunan Gunung Salak di pagi dan sore hari. Di tengah-tengahnya, perumahan bergaya art deco pun digantikan dengan bangunan-bangunan baru lebih dari dua lantai juga untuk kepentingan komersial. Hanya sebagian kecil yang melewati Kebun Raya kita masih bisa melihat pohon-pohon besar ciri kota ini.

Jalan Juanda, jalan utama lainnya yang mengitari hampir setengah Kebun Raya dan Istana Bogor, masih sedikit menyisakan ciri khas kota. Selain Istana Bogor, gedung yang dipakai kantor karasidenan/kejaksaan, kantor walikota, gereja Zebouth, Hotel Salak, dan kantor pos besar Bogor masih mempertahankan penampilan facade luarnya. Sayangnya, salah satu peninggalan gedung zaman Belanda yang ditempati sekolah negeri terbaik di kota ini, malah menghilangkannya. Apakah pertambahan jumlah murid, peningkatan mutu sekolah dengan harus menyediakan kelengkapan standar internasional dan entah alasan lainnya yang membenarkan penggantian itu? Sebagai salah satu alumni, saya merasa malu sekolah yang pernah menjadi kebanggaan pun tak mampu menghargai dan mempertahankan-yang menurut data dalam situs dinas pariwisata kota- bangunan cagar budaya.

Masih di sekitar Jalan Juanda, ada sebuah percetakan tua yang sudah tidak lagi beroperasi sekarang sudah menjadi restoran waralaba global. Saya prihatin bukan karena ada restoran di pojok jalan itu, tapi-lagi-lagi- bangunan lamanya diratakan dengan tanah.  Saya yakin, bangunan itu punya cerita, sepenggal kisah tentang kota Bogor yang mesti diketahui oleh orang Bogor sendiri. Tidak jauh, sebuah rumah yang pernah ditinggali salah seorang maestro lukis Indonesia, Raden Saleh, masih berdiri dan ditempati sebuah instansi pemerintah. Dari luar, secara umum, garis bentuk bangunannya masih dipertahankan. Tapi, jika itu juga menjadi bangunan cagar budaya, siapapun yang menempatinya untuk keperluan apapun, paling tidak mempertahankan rupa aslinya seperti sedia kala. Bukan dilapisi dengan keramik agar lebih efisien karena tidak perlu mengecat ulang.

Di Jalan Suryakencana, kawasan pecinan di Bogor, masih tetap menjadi tempat wisata kuliner favorit. Beberapa makanan khas Bogor masih bisa ditemui di sini. Meskipun tak bisa lagi melihat toko-toko dengan arsitektur Cina, paling tidak, kawasan ini diatur agar tak terlihat didiamkan begitu saja dari dulu hingga sekarang.

Apakah kota yang relatif tidak terlalu besar ini memerlukan mal di setiap pojokannya? Apakah warga asli Bogor mendapat tempat dan berjualan di dalamnya sebagai kompensasi dari kehilangan lahan kebun talas dan bengkoangnya? Seberapa banyak wisatawan atau peserta konvensi yang membutuhkan akomodasi di kota ini, karena jaraknya relatif dekat dengan Ibukota? Siapakah para pengemis dan pengamen yang semakin banyak di persimpangan lampu merah itu? Dan masih banyak pertanyaan lainnya.

Semua itu karena saya semakin merasa asing dengan kota Bogor, daerah yang telah menjadi my hometown. En dat is ik weet Bogor.

by YD