Studi: Pusat turis merusak lokasi eksotis
Hasil
penelitian Robin Canniford dari Universitas Melbourne (Australia) dan Avi Shankar dari Bath (Inggris) mengatakan bahwa alam sering dianggap
sebagai tempat ideal melarikan diri dari kehidupan sehari-hari. Konsumen menikmati pelarian romantis dalam konteks beragam seperti berselancar, liburan di pulau tropis dan festival membakar
orang mati. Tapi melihat
alam hanya sebagai kebalikan dari budaya malah
memposisikan konsumen sebagai
yang mempercepat penghancuran untuk
merasakan alam yang paling mereka inginkan.Hutan mangrove di Wonorejo,Jatim |
Namun sekarang ini konsumen mulai menyadari kerapuhan
alam dan berusaha untuk membatasi potensi kerusakan dengan meningkatkan teknologi ramah lingkungan. Mereka berusaha memajukan praktek-praktek
yang membiarkan alam sebisa
mungkin tak disentuh. Permintaan produk ramah lingkungan menawarkan kesempatan bagi produsen
peralatan luar ruang dan penyedia
jasa pariwisata untuk membantu konsumen menikmati alam dengan cara yang tidak merusak, adalah
kesimpulan dari penelitian tersebut.
Maladewa sering
dianggap pulau surga. Secara tidak sadar wisatawan yang datang telah meninggalkan sampah, dan mulai mencemari air
laut biru kristal di
sekitarnya. Apa yang dilakukannya? Kapal-kapal sewaan dan resor swasta mulai membatasi jumlah
konsumennya di lokasi tertentu agar tetap dapat melestarikan pengalaman di alam yang belum terjamah, memperketat peraturan-peraturan yang sudah ada, dan mengkomersialisasikannya.
Rumah semut di Merauke, Papua |
Haruskah wisatawan
disalahkan atas kekurangan air di
Bali?
Saya pernah membaca sebuah artikel menarik mengenai hasil penelitian dari seorang tokoh akademik dari Inggris Raya, Dr. Stroma Cole, seorang dosen senior geografi pariwisata di
University of West England. Berikut kutipannya:
"Bali merupakan
studi kasus penting karena 80% perekonomiannya tergantung pada pariwisata dan pariwisata tergantung pada pasokan
air yang sehat," katanya. Bali juga penting karena dianggap sebagai
contoh laboratorium pariwisata terbaik di dunia.
Air merupakan salah satu sumber daya paling penting dan langka dalam pariwisata. Industri terkenal
karena terlalu sering menggunakan air di sisi lain. Pariwisata di Bali menyerap 65% dari total
pasokan air di pulau. Di banyak tujuan wisata, termasuk Bali, ketersediaan air mencapai
titik krisis dan dampak pariwisata terhadap hidro-ekologi menjadi tinggi.
Krisis air di
Bali berasal dari sejumlah faktor
yang saling berhubungan- faktor lingkungan dan politik saling
bersinggungan. Sayangnya, sebagian
besar pemangku kepentingan pariwisata tidak menyadari kebutuhan menghemat air. Padahal, pariwisata massal adalah industri
yang membutuhkan air secara intensif dan masif. Salah satu indikatornya bisa dilihat dari jumlah kamar hotel hingga bulan Juli 2012 sudah mencapai 90.000, menurut data dari kantor pariwisata Bali.
Dia melihat, kompetisi air terbesar dirasakan di bidang pertanian. Hal ini menyebabkan berbagai konflik
diantara petani. Penggunaan air tanah berlebihan oleh
pariwisata dirasakan di seluruh
Bali. Dampak yang sudah dirasakan adalah intrusi air
asin, amblesan tanah dan kualitas air memburuk.
" Kelangkaan air di Bali adalah
fenomena sosial politik dan
solusi terletak pada perubahan
kebijakan dan manajemen,"
pungkas Cole.
Daerah
lain pun berusaha membangun pariwisata ramah lingkungan
Masalah yang dihadapi daerah yang
ingin membangun dan mengembangkan pariwisata dengan alam menjadi obyek
utamanya adalah pembangunan infrastruktur yang masih kurang ramah lingkungan. Iskandar
Dodent, salah seorang pengelola dive shop
di Sabang, melihat terutama pada sistem pengolahan limbah rumah tangga dan
limbah yang ditinggalkan tamu masih belum ramah lingkungan. Kebanyakan
limbah langsung dibuang ke laut.
Pantai Gappang, Pulau Weh, Aceh |
Masyarakat di Sabang bukannya tidak mengupayakan
penanggulangan sampah tapi mereka masih membutuhkan ketersediaan transportasi
dan sarana untuk membuang sampah. Selain itu, mitigasi terhadap perubahan iklim
dan lingkungan juga harus ditingkatkan. Karena dengan melakukan itu akan
meningkatkan potensi pariwisata di Sabang.
Sabang membutuhkan pengembangan potensi masyarakat agar bisa memanajemen pariwisatanya
dengan baik dan bisa berjalan secara berkelanjutan. Pemerintah
daerah pun sedang mengusahakan bagaimana agar pariwisata di sini dikelola berbasis
masyarakat dan ramah lingkungan.
Inti dari ekowisata adalah menawarkan
sesuatu yang alami dan unik. Termasuk di dalamnya cagar alam, tempat konservasi/rehabilitasi
flora dan fauna tertentu dan lain-lain. Secara prinsip dan kepentingan,
kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melidungi
flora dan fauna datang dari posisi yang berbeda dengan kegiatan pariwisata,
cenderung tidak sejalan. Tapi keduanya bisa saling menyesuaikan sehingga gangguan-gangguan
yang ditimbulkan dari kegiatan pariwisata tidak mengganggu kegiatan
perlindungan dan konservasi/rehabilitasi flora dan fauna yang menjadi bagian
obyek ekowisata. Kedua kegiatan tersebut masih bisa sejalan asalkan
tidak melampaui batas dan tidak mengganggu keseimbangan alam yang sudah ada. Maka diperlukan seperangkat peraturan
yang jelas yang bisa mengakomodasi kepentingan dari semua sisi, dan komitmen dari seluruh stake holders untuk
taat dan mengimplementasikannya.