Senin, 25 Februari 2013

Pariwisata jadi Benteng Alam,Bisakah?



Studi: Pusat turis merusak lokasi eksotis
Hasil penelitian Robin Canniford dari Universitas Melbourne (Australia) dan Avi Shankar dari Bath (Inggris) mengatakan bahwa alam sering dianggap sebagai tempat ideal melarikan diri dari kehidupan sehari-hari. Konsumen menikmati pelarian romantis dalam konteks beragam seperti berselancar, liburan di  pulau tropis dan festival membakar orang mati. Tapi melihat alam hanya sebagai kebalikan dari budaya malah memposisikan konsumen sebagai yang mempercepat penghancuran untuk merasakan alam yang paling mereka inginkan.
Hutan mangrove di Wonorejo,Jatim

Namun sekarang ini konsumen mulai menyadari kerapuhan alam dan berusaha untuk membatasi potensi kerusakan dengan meningkatkan teknologi ramah lingkungan. Mereka berusaha memajukan praktek-praktek yang membiarkan alam sebisa mungkin tak disentuh. Permintaan produk ramah lingkungan menawarkan kesempatan bagi produsen peralatan luar ruang dan penyedia jasa pariwisata untuk membantu konsumen menikmati alam dengan cara yang tidak merusak, adalah kesimpulan dari penelitian tersebut.


Maladewa sering dianggap pulau surga. Secara tidak sadar wisatawan yang datang telah meninggalkan sampah, dan mulai mencemari air laut biru kristal di sekitarnya. Apa yang dilakukannya? Kapal-kapal sewaan dan resor swasta mulai membatasi jumlah konsumennya di lokasi tertentu agar tetap dapat melestarikan pengalaman di alam yang belum terjamah, memperketat peraturan-peraturan yang sudah ada, dan mengkomersialisasikannya.


Rumah semut di Merauke, Papua
Haruskah wisatawan disalahkan atas kekurangan air di Bali?

Saya pernah membaca sebuah artikel menarik mengenai hasil penelitian dari seorang tokoh akademik dari Inggris Raya, Dr. Stroma Cole, seorang dosen senior geografi pariwisata di University of West England. Berikut kutipannya:

"Bali merupakan studi kasus penting karena 80% perekonomiannya tergantung pada pariwisata dan pariwisata tergantung pada pasokan air yang sehat," katanya. Bali juga penting karena dianggap sebagai contoh laboratorium pariwisata terbaik di dunia.

Air merupakan salah satu sumber daya paling penting dan langka dalam pariwisata. Industri terkenal karena terlalu sering menggunakan air di sisi lain. Pariwisata di Bali menyerap 65% dari total pasokan air di pulau. Di banyak tujuan wisata, termasuk Bali, ketersediaan air mencapai titik krisis dan dampak pariwisata terhadap hidro-ekologi menjadi tinggi.

Krisis air di Bali berasal dari sejumlah faktor yang saling berhubungan- faktor lingkungan dan politik saling bersinggungan. Sayangnya, sebagian besar pemangku kepentingan pariwisata tidak menyadari kebutuhan menghemat air. Padahal, pariwisata massal adalah industri yang membutuhkan air secara intensif dan masif. Salah satu indikatornya bisa dilihat dari jumlah kamar hotel hingga bulan Juli 2012 sudah mencapai 90.000, menurut data dari kantor pariwisata Bali.

Dia melihat, kompetisi air terbesar dirasakan di bidang pertanian. Hal ini menyebabkan berbagai konflik diantara petani. Penggunaan air tanah berlebihan oleh pariwisata dirasakan di seluruh Bali. Dampak yang sudah dirasakan adalah intrusi air asin, amblesan tanah dan kualitas air memburuk.

" Kelangkaan air di Bali adalah fenomena sosial politik dan solusi terletak pada perubahan kebijakan dan manajemen," pungkas Cole.

Daerah lain pun berusaha membangun pariwisata ramah lingkungan

Masalah yang dihadapi daerah yang ingin membangun dan mengembangkan pariwisata dengan alam menjadi obyek utamanya adalah pembangunan infrastruktur yang masih kurang ramah lingkungan. Iskandar Dodent, salah seorang pengelola dive shop di Sabang, melihat terutama pada sistem pengolahan limbah rumah tangga dan limbah yang ditinggalkan tamu masih belum ramah lingkungan. Kebanyakan limbah langsung dibuang ke laut.
Pantai Gappang, Pulau Weh, Aceh
 
Masyarakat di Sabang bukannya tidak mengupayakan penanggulangan sampah tapi mereka masih membutuhkan ketersediaan transportasi dan sarana untuk membuang sampah. Selain itu, mitigasi terhadap perubahan iklim dan lingkungan juga harus ditingkatkan. Karena dengan melakukan itu akan meningkatkan potensi pariwisata di Sabang.

Sabang membutuhkan pengembangan potensi masyarakat agar bisa memanajemen pariwisatanya  dengan baik dan bisa berjalan secara berkelanjutan. Pemerintah daerah pun sedang mengusahakan bagaimana agar pariwisata di sini dikelola berbasis masyarakat dan ramah lingkungan.

Inti dari ekowisata adalah menawarkan sesuatu yang alami dan unik. Termasuk di dalamnya cagar alam, tempat konservasi/rehabilitasi flora dan fauna tertentu dan lain-lain. Secara prinsip dan kepentingan, kegiatan yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melidungi flora dan fauna datang dari posisi yang berbeda dengan kegiatan pariwisata, cenderung tidak sejalan. Tapi keduanya bisa saling menyesuaikan sehingga gangguan-gangguan yang ditimbulkan dari kegiatan pariwisata tidak mengganggu kegiatan perlindungan dan konservasi/rehabilitasi flora dan fauna yang menjadi bagian obyek ekowisata. Kedua kegiatan tersebut masih bisa sejalan asalkan tidak melampaui batas dan tidak mengganggu keseimbangan alam yang sudah ada.  Maka diperlukan seperangkat peraturan yang jelas yang bisa mengakomodasi kepentingan dari semua sisi, dan komitmen dari seluruh stake holders untuk taat dan mengimplementasikannya.